Indonesia akhirnya menunjukkan hasrat bergabung ke BRICS
pada KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia beberapa waktu lalu. Menteri Luar Negeri
Sugiono mengatakan bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan implementasi dari
prinsip bebas aktif di samping memajukan kepentingan negara-negara Global
South.
Langkah ini berbeda dengan kebijakan pemerintahan Joko Widodo ketika diundang
ke KTT BRICS di Afrika Selatan pada 2023 silam. Saat itu, Indonesia memutuskan
menangguhkan keputusan bergabung ke BRICS dengan alasan ingin mengkalkulasi
untung-rugi dari status keanggotaan di klub negara-negara yang kerap
diasosiasikan dengan sikap anti-Barat itu.
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, politik luar negeri Indonesia
tampak lebih asertif dan aktif apabila dibandingkan dengan era sebelumnya. Hal
ini terlihat dari seringnya Prabowo melakukan lawatan ke luar negeri selama
menjabat sebagai Menteri Pertahanan sekaligus presiden terpilih. Prabowo juga
menunjukkan perhatian yang cukup besar dalam isu-isu geopolitik internasional
seperti keterlibatannya dalam Shangri-La Dialogue.
Nuansa nasionalisme politik luar negeri juga sangat kental.
Prabowo berulangkali menekankan Indonesia sebagai negara yang rentan terhadap
pertarungan kekuatan eksternal. Di tengah kondisi anarki seperti itu,
sebagaimana dikatakan Prabowo pada pidatonya kepada para menteri Kabinet Merah
Putih di Akademi Militer, Indonesia tidak boleh didikte oleh kekuatan asing.
Narasi-narasi ini menunjukkan platform kebijakan luar
negeri Indonesia di bawah Prabowo yang cenderung menekankan pada independensi
dan nasionalisme. Hal ini sejalan dengan prinsip “bebas aktif sebagai landasan
kebijakan luar negeri Indonesia sejak merdeka. Prinsip “bebas” ditafsirkan
sebagai bebas dari intervensi pihak luar dalam memutuskan kebijakan luar
negeri. Sementara prinsip “aktif” berarti Indonesia tidak hanya memperjuangkan
kepentingannya sendiri melainkan juga berkontribusi pada penciptaan tatanan
internasional yang damai, adil dan sejahtera.
Dengan demikian, bergabungnya Indonesia ke BRICS sebetulnya tidak melanggar
prinsip bebas aktif. Kontroversi muncul karena sejumlah pihak, terutama
negara-negara Barat, memandang Indonesia menganut prinsip non-blok yang tidak
memihak kubu mana pun. Alhasil, ketika Indonesia bergabung ke BRICS,
negara-negara Barat cenderung menafsirkannya sebagai pelanggaran terhadap
prinsip non-blok tersebut.
Pandangan ini jelas keliru. Prinsip non-blok adalah tidak memihak aliansi
militer mana pun. Indonesia konsisten memegang prinsip ini sejak lama. Di
Indo-Pasifik, Indonesia tidak mendukung QUAD maupun AUKUS. Di samping itu,
dalam Dasasila Bandung yang menjadi prinsip dari Gerakan Non-Blok, tidak ada
poin yang melarang Indonesia bergabung dengan kerja sama multilateral (non
militer) dengan pihak mana pun.
Dengan demikian, bergabungnya Indonesia ke BRICS tidak dapat dianggap melanggar
prinsip non-blok. Justru ini menunjukkan Indonesia konsisten
mengimplementasikan prinsip “bebas” di mana kebijakan itu bukan hasil tekanan
pihak mana pun melainkan pilihan Indonesia sendiri.
Kepemimpinan yang Kuat
Kekhawatiran Barat terhadap keputusan Indonesia bergabung ke BRICS sebenarnya
berakar dari hakikat terbentuknya institusi tersebut. BRICS mengusung visi “post-western
world” yang berupaya mengakhiri hegemoni Barat dalam tata kelola global,
khususnya dalam aspek ekonomi finansial internasional. Rusia berulangkali
mengajak BRICS untuk meninggalkan dolar AS sebagai alat transaksi. BRICS juga
membentuk New Development Bank (NDB) sebagai alternatif pembiayaan
negara-negara berkembang selain Bank Dunia dan IMF.
Dengan karakteristik seperti itu, BRICS dicap sebagai kelompok negara-negara
anti-Barat. Indonesia sangat hati-hati dengan sentimen ini mengingat posisi
Indonesia yang selalu berupaya menjaga keseimbangan hubungan dengan pihak Barat
maupun Timur. Pertimbangan ini barangkali menjelaskan alasan penundaan status
keanggotaan Indonesia di dalam BRICS pada era Joko Widodo sehingga beralih ke
OECD yang lebih dominan nuansa ekonominya ketimbang politik.
Di bawah kepemimpinan Prabowo, sentimen tersebut tampaknya tidak terlalu
merisaukan Indonesia. Pertama, Prabowo punya riwayat kurang positif
dengan Barat pada masa lampau terkait isu pelanggaran HAM. Hal ini membuat
Prabowo agak berjarak dengan Barat. Dalam pidatonya di CSIS ketika masa
kampanye tahun silam, Prabowo terangan-terangan menyebut Indonesia tak butuh
lagi Eropa karena dunia telah berubah di mana Barat tak lagi memegang kendali.
Kedua, Prabowo percaya pada kepemimpinan yang kuat (strong leadership)
sebagai syarat kemajuan suatu bangsa. Ia mengagumi kepemimpinan Vladimir Putin,
Deng Xiaoping, Xi Jinping, Recep Tayyip Erdogan, Mahathir Mohamad, dan Bongbong
Marcos. Di bidang hubungan luar negeri, kepemimpinan yang kuat selalu ditandai
oleh peran dominan pemimpin sebagai aktor utama kebijakan luar negeri. Dengan
karakter seperti itu, Prabowo akan menjadi pihak yang paling menentukan arah
kebijakan luar negeri Indonesia ke depan.
Terlepas dari reaksi negatif Barat yang mungkin akan muncul apabila Indonesia
bergabung dengan BRICS, keanggotaan Indonesia di forum tersebut penting dalam
dua hal. Pertama, secara ekonomi Indonesia akan diuntungkan dengan
potensi pasar yang luas serta menguasai 30 persen PDB global. Indonesia juga
berpeluang mendapatkan sumber pendanaan dari NDB untuk proyek infrastruktur.
Kedua, secara politik Indonesia dapat memperkuat daya tawarnya di dunia
diplomasi internasional mengingat BRICS memiliki anggota inti negara-negara
besar (terutama Rusia, China, dan India) yang turut mempengaruhi tatanan
global. Melalui keanggotaan di dalam BRICS, Indonesia lebih leluasa
mengaktualisasikan perannya sebagai pemimpin negara-negara berkembang dan
mencari pengakuan internasional atas ambisi Indonesia menjadi negara besar (major
power) pada 2045.
Meskipun demikian, Indonesia perlu untuk terus menjaga hubungan baik dengan
Barat. Walau bagaimanapun, politik luar negeri Indonesia tidak boleh berpedoman
pada favoritisme pada salah satu kubu. Negara-negara Barat juga merupakan mitra
strategis bagi kepentingan nasional Indonesia, khususnya dalam bidang
pertahanan. Indonesia sudah meneken kontrak pengadaan jet tempur F-15EX
sebanyak 24 unit dengan AS senilai US$ 13,9 miliar.
Untuk menyeimbangkan hubungan antara BRICS dan Barat, Indonesia perlu belajar
dari India. India merupakan anggota inti BRICS namun juga salah satu sekutu
terpenting Barat di Asia Pasifik. Komitmen Indonesia pada demokrasi barangkali
menjadi satu-satunya variabel perekat antara Indonesia dan Barat (khususnya
AS).
Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Prabowo. Menjamin
keberlangsungan demokrasi di dalam negeri seraya aktif mempromosikan demokrasi
di kawasan Asia Pasifik melalui Bali Democracy Forum perlu menjadi perhatian
serius pemerintahan Prabowo supaya Indonesia mampu menavigasi hubungan luar
negerinya secara seimbang dan fleksibel.
Mohamad Rosyidin kandidat doktor di Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL
UGM, dosen di Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Diponegoro.